Minggu, 10 November 2013

let me fall....

Biarkan aku jatuh .................................................
Menjadi semacam batu separuh kikis di tepian sungai. Gamang, menunggu waktu tenggelam di dasar. Menjadi hilang, menjadi lenyap Hingga sunyi akhirnya. .................................................
Berharap tiada seperti daun jatuh yang tak pernah mengharap apa apa selain dekapan takjim bumi
Tidak sedang apa-apa sebaiknya. ................................
Pikiran-pikiran jahat itu datang lagi Sebatang rokok segelas kopi dan tak tidur bermalam-malam Sudah lama tidak melakukannya... Penat sungguh!!!!!!!

Minggu, 03 November 2013

tentang penulis dan bukunya....

Hari ini baca sebuah postingan di wall kawan yang kebetulan seorang penulis. “obral-obral, 3 buku cukup Rp 50.000,-“ dan salah satu buku yang di obral itu adalah novel tulisan kawan penulis yang ditag. Maksudnya apppaaahh?!!! #sengaja lebay Aku yang bukan penulisnya aja sempat shock, tercekat sejenak. Apalagi kawanku yang penulis itu. Hadeeh.. ini yang posting/jualan gak pakek kira2... Aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin kita menunjukkan “ini lho bukumu tak obral...” di depan mata si penulis dengan alasan apapun.
Ini sungguh mengingatkanku pada peristiwa beberapa tahun lalu, sekitar pertengahan tahun 2008. Waktu itu, aku bersama temanku (pecinta buku juga) datang ke acara launching buku “kumpulan puisi : Teman-temanku dari Atap bahasa- Afrizal Malna”. Kebetulan aku sudah punya bukunya waktu itu, sedangkan temanku belum . jadilah kami lihat-lihat deretan buku yang biasa dijual di setiap acara launching buku, salah satunya adalah buku baru tsb. Buku baru itu dijual dengan harga Rp 15.000,- jelas tertera di selembar kertas putih di bagian depan tumpukan buku. Tepat saat temanku menimbang buku hendak membayar, Afrizal menghampiri kami dan bertanya “berapa harga bukunya?” hampir berbarengan kami menjawab ‘Rp. 15.000,- bang”. Afrizal tampak terhenyak sekilas dan menyahut “Murah sekali ya” sambil tersenyum. Kami tak tahu harus berkomentar apa selain ikut-ikutan tersenyum. Berbasa-basi sebentar, kemudian kami masuk ruangan, acara segera dimulai.
Percakapan singkat, tapi kata-kata AF sangat membekas bagiku, bahkan sampai sekarang. “Murah Sekali ya...”
Disatu sisi kami selaku konsumen, tentu saja senang dengan harga buku yang murah, tapi ketika melihat kilasan kekecewaan[kekagetan] di wajah AF. Tentu ada yang tidak benar. Barangkali harga itu sangat tidak sepadan dengan perjuangannya menulis sebuah buku [kumpulan puisi]. Jelas bukan perkara gampang proses menulis, ada pergulatan emosi [hati] personal tentunya..;) yang tidak kita ketahui disana. Aku mulai banyak belajar menghargai hasil karya seseorang ketika belajar seni rupa. Kesukaanku pada lukisan sudah sejak SMA meski dengan gerutuan “mahal-mahal amat si lukisan, perasaan biasa aja, gampang kalii buatnya”.. #beuuh hijau sekali waktu itu #tutup muka
Sampai akhirnya, awal kulaih aku bergabung dengan USER [unit senirupa] di kampus dan mulai belajar nyekets dan seluk beluk senirupa. Dengan teman-teman baru yang ternyata udah pada canggih-canggih dan berpassion senirupa, aku bener-bener berproses. Di situ aku paham, mengapa sebuah lukisan bisa dihargai dengan sekian digit. Malah menurutku lukisan itu tidak ternilai. Karena aku sendiri mungkin tidak akan pernah rela menjual lukisanku [seandainya pun lukisanku bagus he3..kenyataannya tidak :d]
Tapi, aku salut banget sama temanku ‘karet gelang’ dia pernah menyinguit [memutihkan lukisan, aku lupa pun cara menulisnya..;0] lukisan dia sendiri ukuran 1,5 x3 m yang telah digarapnya cukup lama. Aku tahu persis proses pembuatannya, karena dikerjakan di sekre. Aku jelas melihat bagaimana dia dengan telaten menguas, menggosoknya dengan kain, dikuas lagi, digosok lagi, kuas lagi. Finishingnya sangat halus. Dan saat kutanya kenapa mas disinguit?. Dia dengan santai menjawab “ndak punya uang untuk beli kanvas baru”. Aku langsung lemes dengernya...-ya allah mas, kenapa gak bilang. Mending buatku aja lukisannya, trus tak buatin kanvas baru- dalem hati.
Suatu karya tidak mungkin jadi dengan serta merta, apalagi tulisan yang sebagian besar pasti melibatkan pergulatan hati si penulis (meskipun tulisan fiksi).
Agustinus wibowo, travel writer, penulis3 buku perjalanan dalam sebuah bincang-bincang penulisan mengatakan dengan lugas bahwa noel terbarunya “titik Nol” dia tulis sebanyak 50 kali selama 2 tahun. Dan bayangkan dengan proses yang demikian panjangsi penulis, tiba-tiba dengan tampang tanpa dosa anda menyodorkan iklan “Obral-obral buku, murah mas..mbak...” di depannya What Hell!!! #maaf harus dengan tanda seru banyak ;)
#eits, ngomong-ngomong jadi rindu afrizal Malna membaca puisi...ahh dia ngobrol biasapun serupa puisi.